Kayu bekas, di mata sebagian orang, mungkin dianggap kurang berguna. Namun di tangan Hendrik, kayu-kayu bekas ini dapat disulapnya menjadi meja belajar lipat. Bagaimana proses pembuatannya?
Laporan Hendrik Bekasi
TIDAK sulit menemukan alamat Hendrik, Jl. kaliabang Dukuh Rt.04/09 No. 11 Harapan Indah Bekasi. Hampir semua orang di lingkungan itu mengenal Mas Hendrik. Radar Bekasi pun hanya perlu sekali bertanya untuk sampai di kediamannya.
Rumah Hendrik mudah dikenali. Pasalnya, halaman rumah yang berbatasan langsung dengan jalan kecil berlapis paving block itu dipenuhi puluhan kayu berbentuk segi empat. Kayu-kayu berukuran 50 x 35 sentimeter itu tersusun rapi di pinggir pagar rumah bercat Hijau tersebut.
Saat Radar tiba, seorang pria bertelanjang dada tengah berdiri di teras sambil menggendong seorang balita. Pria itu tampak asyik memperhatikan seorang wanita paruh baya yang tengah menempelkan kertas kado menutupi setiap sisi kayu.
Keduanya ramah menyambut kehadiran wartawan koran ini. Dengan antusias, mereka langsung mempersilakan duduk. Pria itu lantas mengenalkan diri sebagai Budiono. Tiak lama kemudian, ayah lima anak ini menceritakan seputar usaha yang telah digarapnya sejak 2005 silam.
Menurut Budiono, ide kreatif itu muncul karena desakan faktor ekonomi. Saat itu, dia memiliki beberapa batang kayu dan tripleks di rumahnya. Dia pun mulai memikirkan benda yang memiliki nilai ekonomis. Hingga akhirnya dengan modal Rp175 ribu, ia memulai usaha kerajinan tersebut.
’’Waktu itu, saya yang memotong dan menghaluskan kayu serta memasang kaki mejanya, serta yang mengelem kertas kado, pasang poster kartun anak-anak, hingga membungkus dengan plastik,” kenangnya.
Dengan modal yang terbatas itu, meja belajar yang mereka buat juga tidak terlalu banyak. Karena belum ada pelanggan, Mas Hendrik hanya membuat lima meja. Ia kemudian memasarkan karyanya itu ke rumah-rumah penduduk.
’’Saya sempat jadi pedagang keliling. Makanya harga yang dibanderol pun jauh lebih mahal, yakni Rp35 ribu. Setelah enam bulan, akhirnya saya bertemu dengan Teman, pemilik toko di Pasar Kayu. Dia menyatakan sanggup mendistribusikan meja saya ke pelanggan,” ungkapnya.
Mas Hendrik sendiri tidak menyangka peminat meja lipat buatannya sangat tinggi. Selain dipasarkan di Provinsi Jawa barat, permintaan juga datang dari Jakarta dan Bandung. Permintaan makin melonjak menjelang tahun ajaran baru. Dalam sehari, ia bisa mendapat pesanan hingga 200 buah. Sedangkan menjelang tahun ajaran baru, pesanan masuk bisa mencapai 1.000 buah per hari.
Namun karena terkendala modal, ia tidak bisa memenuhi permintaan itu. Beruntung, Andreas mau meminjamkan modal. Hanya dalam tempo dua bulan, pinjaman modal sebesar Rp100 juta itu bisa dilunasi.
Untuk memangkas biaya produksi, lelaki yang tidak pernah mencicipi bangku sekolah ini mengambil kayu-kayu bekas dari sebuah pabrik di sekitar Bekasi. Untuk satu mobil kayu bekas hanya dihargai Rp3 juta. Kayu-kayu itu mampu menghasilkan 1.500-3.000 meja. Maka tidak heran, Mas Hendrik berani menurunkan harga menjadi Rp. 30.000 per buah.
Namun, saat ini kayu bekas makin sedikit. Terkadang, Mas Hendrik terpaksa membeli kayu bekas dari daerah lain dengan harga jauh lebih mahal. ’’Saya hanya dapat untung sedikit dari setiap satu meja belajar ini,” ujarnya seraya menyatakan akan terus menekuni usaha ini.
Karena itu, Mas Hendrik kini makin mengetatkan anggaran pengeluarannya. Bila dulu ia sempat memiliki 15 karyawan, kini hanya dibantu anggota keluarganya. (c1/fik)